MENINJAU TENTANG SYARAT-SYARAT DALAM MENAFSIR AL-QURAN

Orang selalu menegaskan bahwa “untuk menafsirkan Al-Quran itu harus memenuhi beberapa syarat. Dan jikalau seseorang itu belum memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia belum dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran”. Pernyataan tersebut pada prinsipnya dipandang bukan “sesuatu keputusan yang menjadi syarat mutlak, tetapi merupakan keputusan yang bersifat pengawasan semata untuk menjaga sikap yang berutal dari manusia dalam menafsirkan Al-Quran”. Dikatakan bukan keputusan yang mutlak, karena syarat tersebut bukanlah ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, melainkan syarat-syarat ketetapan yang dibikin oleh manusia itu sendiri.

Berikut ini mari dipungutkan syarat-syarat tersebut, demikian Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam “Ilmu-ilmu Al-Quran”, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, ed. 1972, hlm. 229 mencatatkan, bahwa “ilmu-ilmu yang wajib dimiliki dengan sempurna oleh seorang mufassir”, ialah :

  1. Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf dan ilmu-ilmu balaghah.
  2. Ilmu Ushul Fiqh.
  3. Ilmu Tauhid.
  4. Ilmu Asbabu An-Nuzul dan Qiyas.
  5. Ilmu Nasikh wa Mansukh.
  6. Hadits-hadits yang menerangkan maksud lafal-lafal mujmal dan mubham.
  7. Ilmu Al-Mauhibah (ilmu yang diwariskan Allah kepada seseorang mengamalkan ilmunya dan bersih hatinya dari takabbur dan hubbun duniawi).

Ungkapan persyaratan di atas adalah sebuah kenyataan dalam studi ilmu, dan berhadapan pula dengan kenyataan kondisi sosial manusia. Muhd. Hasbi Ash-Shiddieqy mencatatkan bahwa “‘Ulum Al-Quran” itu lahir ± abad ke-5 Hijriah dengan tersusunnya paket buku “Al-Burhan Fi- ‘Ulumi Al-Quran” karya terbesar dari Ali Ibn Ibrahim Ibn Sa’id yang wafat pada 430 Hijriah sebanyak 30 jilid.

Lima Hipotesis

Berikut ini siapa pun akan berhadapan dengan lima hipotesis untuk memberi penilaian terhadap kondisi “para mufassir” dalam dunia Islam :

  1. Jikalau ‘Ulum Al-Quran itu muncul pada abad ke-5 hijriah dengan memuatkan beberapa persyaratan untuk menjadi seorang Mufassir, tentu orang-orang yang hidup sebelum abad ke-5 hijriah itu tidak diakui sebagai seorang mufassir, sebab tujuh macam disiplin ilmu di atas belum ditemukan dan belum dirumuskan secara baku. Setidak-tidaknya pokok pikiran dari seseorang mufassir di saat itu masih diragukan kebenaran tafsirnya. Dalam hal ini termasuk segenap mufassirin yang muncul pada abad pertama hijriah sampai kepada penghujung abad keempat hijriah.
  2. Jikalau hipotesa butir pertama itu tidak benar, tentu bukan demikian maksudnya, karena latar belakang munculnya disiplin “‘Ulum Al-Quran” itu tidak lain adalah akibat munculnya keraguan tentang “kondisi mufassirin untuk masa berikutnya”, di mana mereka berminat menafsirkan Al-Quran, sedangkan syarat-syarat sebagaimana yang dicatatkan di atas tidak dimiliki mereka secara sempurna. Kondisi “‘Ulum Al-Quran” seperti yang telah dilukiskan di atas itu sangat jauh berbeda dengan kondisi “‘Ulum Al-Quran” yang dimiliki para mufassir yang muncul sebelum abad kelima hijriyah tersebut. Itu bermakna bahwa “‘Ulum Al-Quran” yang dirumuskan pada abad kelima hijriah itu adalah gambaran tentang ilmu-ilmu yang dikuasai oleh para mufassir terdahulu yang mulai dirasakan sangat langka dikuasai oleh para mufassir belakangan.
  3. Jikalau hipotesa butir kedua itu diakui kebenarannya, dan jikalau diukur pula nilai kualitas kemufassirinannya, tentu pada era sains dan teknologi dewasa ini dipandang sangat jauh tertinggal, karena telah berjarak sejauh ± 1000 tahun (10 abad) yang lalu. Setiap kita dipersilahkan membandingkan betapa para mufassir itu telah ketinggalan dalam penguasaan ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, antropologi, sosiologi dan lain-lainnya. Seluruh disiplin ilmu yang disebutkan di atas itu telah tercatat di dalam ayat-ayat Al-Quran, tetapi tidak pernah ditemukan sebagai syarat yang harus dikuasai oleh para mufassir pada butir-butir dari tujuh persyaratan yang dikenal itu.
  4. Jikalau tujuh persyaratan menjadi seorang mufassir menurut catatan di atas telah dianggap sempurna, maka penguasaan mufassir yang dimaksudkan di situ bukanlah bersifat universal terhadap Kitab Suci Al-Quran, tetapi tentu bersifat parsial, di mana penguasaan mufassir dimaksudkan cuma terbatas dalam konteks hukum Islam semata. Dengan begitu bagi mufassir yang hidup di era kontemporer ini (untuk penobatan sebagai mufassir kontemporer), maka persyaratan dimaksudkan seharusnya diberi penambahan butir kedelapan, yakni : “Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)”.
  5. Jikalau seorang mufassir itu tidak menguasai syarat kedelapan ini, maka mufassir tersebut dapat diklaskan pada “Mufassir Tradisional” atau “Mufassir Modernisasi”, dan ternyata bukan “Mufassir Kontemporer”.
Catatan :
Bandingkan dengan: Qur’an: Sumber Inspirasi Ilmu Pengetahuan AL-QURAN SUMBER INSPIRASI ILMU PENGETAHUAN, REPUBLIKA, 12 Nopember 2003 (Agus Purwanto) sbb: “Syekh Jauhari Thonthowi guru besar universitas Kairo penulis kitab tafsir al-Jawahir membuka tafsirnya dengan mengungkap fakta sekaligus menggugat ulama Islam. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat sekitar 150 ayat hukum sementara ayat kauniyah lima kali lipatnya, yakni sekitar 750 ayat. Ulama islam telah mengerahkan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk menulis ribuan kitab fikih tetapi nyaris tidak satu pun buku tentang alam ditulis”.

JS MANROE

This entry was posted in PROBLEMATIKA and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to MENINJAU TENTANG SYARAT-SYARAT DALAM MENAFSIR AL-QURAN

  1. 'nBASIS says:

    No 4 itu memang seolah tak pernah dipikirkan oleh para mufassir (harusnya diberi penambahan butir kedelapan, yakni : “Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)”). Itu yang menyebabkan keterbelakangan tafsiran.

  2. sugiarno says:

    Seiring perjalanan waktu, suatu saat akan muncul syarat ke 8, ke 9, dst. Akhirnya, terbelenggu dengan syarat yang dibuat sendiri. Alhasil, Al Quran hanya tinggal aturan yang melangit dan tak kunjung membumi …

Leave a reply to 'nBASIS Cancel reply